safarila.blogspot.com

WELCOME TO MY BLOG

SAFARILA.BLOGSPOT.COM
` Education
` Entertainment
- Tourism
` Culinary
` Knowledge of other General

Total Tayangan Halaman

Label


Lihat Kartu Ucapan Lainnya (KapanLagi.com)

Lihat Kartu Ucapan Lainnya (KapanLagi.com)

Lee Min Ho, dkk

Lee Min Ho, dkk
Boys Before Flowers

Sabtu, 23 April 2011

SISTEM EKONOMI KERAKYATAN

SISTEM EKONOMI KERAKYATAN

Definisi Sistem Ekonomi Kerakyatan
Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dan sebagainya, yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha.
Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.
Secara ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat local dalam mempertahan kehidupannnya. Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal dalam mengelola lingkungan dan tanah mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sistem antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan.
Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada.

Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial
• Berdaulat di bidang politik
• Mandiri di bidang ekonomi
• Berkepribadian di bidang budaya

Yang mendasari paradigma pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial
• Penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi
• Pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural
• Pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi

Ciri-ciri Sistem Ekonomi Kerakyatan
- Bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan yang sehat.
- Memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial, dan kualitas hidup.
- Mampu mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
- Menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja.
- Adanya perlindungan hak-hak konsumen dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat.


Sekilas tentang Sistem Ekonomi Kerakyatan
Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut: “Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)”
Jika kita mengacu pada Pancasila dasar negara atau pada ketentuan pasal 33 UUD 1945, maka memang ada kata kerakyatan tetapi harus tidak dijadikan sekedar kata sifat yang berarti merakyat. Kata kerakyatan sebagaimana bunyi sila ke-4 Pancasila harus ditulis lengkap yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang artinya tidak lain adalah demokrasi ala Indonesia. Jadi ekonomi kerakyatan adalah (sistem) ekonomi yang demokratis. Pengertian demokrasi ekonomi atau (sistem) ekonomi yang demokratis termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi: “Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Memang sangat disayangkan bahwa penjelasan tentang demokrasi ekonomi ini sekarang sudah tidak ada lagi karena seluruh penjelasan UUD 1945 diputuskan MPR untuk dihilangkan dengan alasan naif, yang sulit kita terima, yaitu “di negara negara lain tidak ada UUD atau konstitusi yang memakai penjelasan.

Tujuan yang diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan
• Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
• Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
• Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
• Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional

Lima hal pokok yang harus segera diperjuangkan agar sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya menjadi wacana saja
1. Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya
2. Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme persaingan yang berkeadilan (fair competition)
3. Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah
4. Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap
5. Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi “ sejati” dalam berbagai bidan usaha dan kegiatan. Yang perlu dicermati, peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan tidak didasarkan pada paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma fondasi.

Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar
Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar.
Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?. Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional. Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar. Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar. Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang. Perlu digaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri.
Dalam pemahaman seperti ini, merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional. Dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada. Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini harus diabaikan. Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual. Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.
Gagasan ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif dari para ahli ekonomi Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh negara negara berkembang termasuk Indonesia dalam menerapkan teori pertumbuhan. Penerapan teori pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di negara negara kawasan Eropa
ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang berbeda.
Salah satu harapan agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan di kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar. Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang berintikan pada manusia pelakunya.
Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan berbagai kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Dari pernyataan tersebut jelas sekali bahwa konsep, ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya untuk lebih mengedepankan masyarakat. Dengan kata lain konsep ekonomi kerakyatan dilakukan sebagai sebuah strategi untuk membangun kesejahteraan dengan lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat.
Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (alm) Prof. Dr. Mubyarto, sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring (network) yang menghubung-hubungkan sentra-sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik diantara sentara dan pelaku usaha masyarakat.
Sebagai suatu jejaringan, ekonomi kerakyatan diusahakan untuk siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga “lembaga bisnis internasional, Ekonomi kerakyatan dengan sistem kepemilikan koperasi dan publik. Ekomomi kerakyatan sebagai antitesa dari paradigma ekonomi konglomerasi berbasis produksi masal ala Taylorism.
Dengan demikian ekonomi kerakyatan berbasis ekonomi jaringan harus mengadopsi teknologi tinggi sebagai faktor pemberi nilai tambah terbesar dari proses ekonomi itu sendiri. Faktor skala ekonomi dan efisien yang akan menjadi dasar kompetisi bebas menuntut keterlibatan jaringan ekonomi rakyat, yakni berbagai sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat, skala besar kemandirian ekonomi rakyat, skala besar dengan pola pengelolaan yang menganut model siklus terpendek dalam bentuk yang sering disebut dengan pembeli .
Berkaitan dengan uraian diatas, agar sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada tingkat wacana, sejumlah agenda konkret ekonomi kerakyatan harus segera diangkat kepermukaan. Secara garis besar ada lima agenda pokok ekonomi kerakyatan yang harus segera diperjuangkan. Kelima agenda tersebut merupakan inti dari poitik ekonomi kerakyatan dan menjadi titik masuk (entry point) bagi terselenggarakannya sistem ekonomi kerakyatan dalam jangka panjang
Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya; Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme ; persaingan yang berkeadilan (fair competition) ; Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah.; Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap ; Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan.
Yang perlu dicermati peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan tidak didasarkan pada paradigma lokomotif, melainkan pada paradigma fondasi. Artinya, peningkatan kesejahteraan tak lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat, modal asing dan perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, persaingan yang berkeadilan, usaha pertanian rakyat sera peran koperasi sejati, yang diharapkan mampu berperan sebagai fondasi penguatan ekonomi rakyat.
Strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan dibawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.
Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang ada saat ini adalah lebih merupakan alat control birokrasi terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan di wujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan politik di tingkat Distrik. Dengan demikian persoalan pengembangan ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat Distrik. Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di tingkat kampung dan Distrik bisa dimulai dengan pendemokrasian pratana sosial politik, agar benar-benar yang inklusif dan partisiporis di tingkat Distrik untuk menjadi partner dan penekan birokrasi kampung dan Distrik agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat.

Apa Itu Kerakyatan Dan Siapa Itu Rakyat?
Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dari itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding dalam mengatasnamaan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya.
Sekali lagi, siapa yang disebut “rakyat”? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis oleh sekelompok pencemoh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat, bukankah Liem Sioe Liong juga rakyat?” Tentu! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.
“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interest” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public needs” (yang berdimensi domain publik). Ini analog dengan pengertian bahwa “social preference” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “individual preferences”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu.
Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood atau broederschap) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei”, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).
Seperti dikemukakan di atas, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi politik”.
Dari sini perlu kita mengingatkan agar tidak mudah menggunakan istilah “privatisasi” dalam menjuali BUMN. Yang kita tuju bukanlah “privatisasi” tetapi adalah “go-public”, di mana pemilikan BUMN meliputi masyarakat luas yang lebih menjamin arti “usaha bersama” berdasar atas “asas kekeluargaan”.

Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan.
Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000).
Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action. Aksi membagi-bagi uang secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud.
Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material. Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka dikhawatirkan cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy. Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat. Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider. Justru kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan. Kita semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Tapi kita lupa bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process yang harus pula dipersiapkan sejak awal. Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.

Bagaimana memberdayakan ekonomi rakyat
Jika kini telah diyakini bahwa yang harus diberdayakan adalah ekonomi rakyat bukan ekonomi kerakyatan, maka pertanyaan lugas yang dapat diajukan adalah bagaimana (cara) memberdayakan ekonomi rakyat.
Jika ekonomi rakyat dewasa ini masih “tidak berdaya”, maka harus diteliti secara mendalam mengapa tidak berdaya, atau faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ketidakberdayaan pelaku-pelaku ekonomi rakyat itu. Untuk menjawab pertanyaan inilah kutipan pernyataan Bung Karno di atas sangat membantu, yaitu ekonomi rakyat menjadi kerdil, terdesak, dan padam, karena sengaja disempitkan, didesak, dan dipadamkan oleh pemerintah penjajah melalui sistem monopoli, dan (sistem) monopoli ini dipegang langsung oleh pemerintah, atau diciptakan pemerintah dan diberikan kepada segelintir perusahaan-perusahaan konglomerat.
Dari keuntungan besar yang diperolehnya kemudian konglomerat memberikan “bagi hasil” kepada pemerintah atau lebih buruk lagi kepada “oknum-oknum pejabat pemerintah”. Inilah salah satu bentuk korupsi melalui koneksi dan nepotisme yang kemudian disebut dengan nama KKN.
Cara yang paling mudah memberdayakan ekonomi rakyat adalah menghapuskan sistem monopoli, yang pernah “disembunyikan” dengan nama sistem tata niaga. Misalnya tataniaga jeruk Kalbar atau tataniaga cengkeh Sulut. Padahal yang dimaksudkan jelas sistem monopoli yang pemegang monopolinya ditunjuk pemerintah yaitu BPPC untuk cengkeh dan Puskud untuk Jeruk Kalbar. Di Indonesia penghapusan monopoli tidak memerlukan UU Anti Monopoli seperti di AS tetapi jauh lebih mudah dan lebih sederhana yaitu dengan menerbitkan sebuah SK (Surat Keputusan) dari Presiden atau Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk mencabut monopoli yang sebelumnya memang telah diberikan pemerintah”.
Cara lain yang juga sudah sering dianjurkan adalah pemberdayaan melalui pemihakan pemerintah. Jika pemerintah bertekad memberdayakan petani padi atau petani tebu misalnya, pemerintah harus berpihak kepada petani. Berpihak kepada petani berarti pemerintah tidak lagi berpihak pada konglomerat seperti dalam kasus jeruk dan cengkeh, yang berarti petani jeruk dan petani cengkeh memperoleh “kebebasan” untuk menjual kepada siapa saja yang mampu memberikan harga terbaik.
Khusus dalam kasus petani padi, yang terpukul karena harga pasar gabah dibiarkan merosot di bawah harga dasar, keberpihakan pemerintah jelas harus berupa pembelian langsung gabah “dengan dana tak terbatas” sampai harga gabah terangkat naik melebihi harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah.
Demikian pemberdayaan dan pemihakan pada ekonomi rakyat sangat mudah pelaksanaannya kalau kita terapkan langsung pada ekonomi rakyat, bukan pada ekonomi kerakyatan, yang terakhir ini berarti sistem atau aturan main, yang tidak dapat diberdayakan.
Dengan digantinya oleh pemerintah istilah ekonomi rakyat dengan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang sebenarnya sekedar menterjemahkan istilah asing SME (Small and Medium Enterprises), yang tidak mencakup 40 juta usaha mikro (93% dari seluruh unit usaha), maka segala pembahasan tentang upaya pemberdayaan ekonomi rakyat tidak akan mengena pada sasaran, dan akan menjadi slogan kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar